Reverse Racism: Bisakah Kita Rasis Terhadap Orang Kulit Putih?

Sovomore
4 min readJul 23, 2021

--

I believe in human beings, and that all human beings should be respected as such, regardless of their color” –Malcolm X

Sudah 613 tahun lamanya dan kata rasisme masih sering menjadi Headline berita. Rasisme berawal sekitar tahun 1400 dimana kira-kira sedikitnya 12 juta (Ball, n.d.) orang kulit hitam diperjual belikan sebagai budak dan pekerja kasar oleh kulit putih. Secara sejarah, rasisme berlaku pada black, indigenous and People of Color (BIPOC) sebagai pihak yang ter opresi baik secara institusional, sosial dan kekuatan sistem. Tetapi pada akhir abad 20 diperkenalkan istilah baru yaitu ‘reverse racism’ yang mengacu pada rasisme terhadap kulit putih. Jika isu ini benar adanya bisakah kita rasis terhadap kulit putih?

Narasi terhadap adanya kemungkinan bahwa reverse racism benar-benar ada ini berpotensi mengalihkan focus isu dari permasalahan utama terkait dengan rasisme, sistem-hanya-menguntungkan-kulit-putih. Ide ini terutama didukung oleh orang kulit putih yang menganggap keuntungan dalam kesetaraan ras sebagai kerugian dalam status kulit putih (Norton, 2011). Kulit putih beranggapan bahwa hak kesetaraan ras merupakan zero sum game terhadap status hak mereka.

Mengenal rasisme

Para ahli sepakat bahwa ras sejatinya adalah konstruksi sosial, sementara rasisme sendiri berakar dari hierarki global dimana terdapat ‘garis’ pembeda antara superioritas dan inferioritas yang kemudian direproduksi secara politik, sosial, budaya dan ekonomi selama berabad-abad lamanya oleh institusi yang kapitalis, colonial-sentris, barat, patriarkal-sentris dan Kristen. Untuk mereka yang berada diatas garis atau superior akan mendapat hak utuh sebagai manusia, hak asasi, hak kewarganegaraan, hak pekerja dan lainnya yang disebut privilege. Namun untuk mereka yang inferior akan dianggap sebagai sub-manusia atau bukan manusia, dimana kemanusiaan mereka dipertanyakan (Fanon, 1967). Sistem rasisme yang ada ini tentu hanya akan menguntungkan mereka yang statusnya dianggap ‘manusia’ sementara nasib nahas menimpa si ‘bukan manusia’.

Selama berabad lamanya, kulit putih memegang mayoritas kekuasaan yang memberikan mereka akses untuk melakukan opresi terhadap BIPOC (black, indigenous, and people of colour). Bahkan belum genap 62 tahun semenjak orang kulit hitam pertama menerima hak untuk mengenyam pendidikan disekolah umum.

*Ruby Bridges tahun 1960 pergi kesekolah dengan dampingan pengawal karena banyaknya ancaman padanya, sumber New York Amsterdam News*

Reverse racism

Tagar #BlackLivesMatter menjadi symbol perlawanan. Kematian George Floyd ditangan polisi menyulut bangkitnya gerakan hak sipil yang menentang white supremacy. Kemudian meluas menjadi gerakan global yang mengingatkan bahwa opresi terhadap Black, Indigenous, and People of Color (BIPOC) masih terjadi diseluruh dunia. Merasa terpojok, kulit putih menuding bahwa racial prejudice terhadap mereka juga merupakan rasis atau reverse racism. Disinilah mengapa reverse racism sebenarnya bukan hal yang nyata melainkan hanya aksi affirmative, kebencian-individu, yang secara struktur kekuasaan Black, Indigenous, and People of Color (BIPOC) tidak menempati tempat yang lebih tinggi dibanding kulit putih. Sehingga ide bahwa si tertindas secara sistematis dapat menyakiti bahkan mengancam hak kulit putih adalah hal yang mustahil.

Cukup umum memang jika masyarakat akan mengira prasangka rasial sebagai rasisme, namun prasangka rasial disini umumnya adalah kebencian pribadi, cemoohan dan stereotip terhadap ras. Jika dilakukan oleh orang yang tertindas maka tidak akan mengurangi maupun mengancam hak.

*Martin Luther King Jr. Memberikan Pidato terkenalnya ‘I Have A Dream’ , sumber The Freepress Journal*

Ketika sekelompok orang yang memiliki kekuatan sedikit atau bahkan tidak memiliki kekuatan sama sekali secara sistem, mereka tidak dapat mendikte, tidak dapat membatasi hak kelompok lain yang lebih unggul secara sistem. Jadi tidak usah khawatir mengenai cemoohan atau racial prejudice, karena ya akan hanya sampai disitu saja. Black, Indigenous, and People of Color (BIPOC) tidak memiliki kuasa untuk mencurigai kulit putih karena mengenakan hijab, atau ketika anak kulit putih membawa senapan mainan. Hal semacam itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang didukung oleh sistem. Yang pada akhirnya lepas dari jerat hukum.

Kita harus paham bahwa BIPOC prejudice tidak dapat mempengaruhi hak dari kulit putih. Bahwa disebut dengan panggilan “Karen” atau bahwa masakan kulit putih hambar tidak sebanding dengan fakta bahwa ada 25% populasi kulit hitam dari total populasi dan 64% dari total keseluruhan populasi tersebut tewas ditembak polisi (Inn et al:1977).

| Maka “apakah kita dapat rasis terhadap kulit putih?” jawabannya adalah tidak.

References

Ball, E. (n.d.). Retracing Slavery’s Trail of Tears. Smithsonian Mag. https://www.smithsonianmag.com/history/slavery-trail-of-tears-180956968/

Fanon, F. (1967). Black skin, White masks. Grove Press.

Inn, A. (1977). The effects of suspect race and situation hazard on police officer shooting behavior. Journal of Applied Social Psychology, 7, 27–37.

Norton, M. (2011). Whites see racism as a zero-sum game that they are now losing. Perspectives on Psychological Science, 212–218.

--

--

Sovomore
Sovomore

Written by Sovomore

Highlighting social, economic, political, and pop culture issues — in an adequate portion. #tobeMORE

No responses yet