Paradoks Hukum Indonesia Dalam Perlindungan Korban Pelecehan Seksual
Baru-baru ini kita dihebohkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), bukan hanya soal pernyataan Saipul Jamil yang boleh masuk TVtv dengan alasan edukasi, melainkan juga dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam internal KPI sendiri. Namun, bukannya korban pelecehan seksual yang merupakan pegawai KPI mendapatkan dukungan dari pihak instansi dan perlindungan dari hukum, malah terancam untuk dikriminalisasi dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang tindak pidana pencemaran nama baik. Hal tersebut menunjukan bahwa hukum kita masih belum mampu memberikan perlindungan yang mapan, malah semakin membuat para korban dibungkam karena terancam untuk dikriminalisasi.
Kronologi Kejadian
Terungkapnya kasus pelecehan seksual di lingkungan KPI dimulai dengan seorang pegawai yang berinisial MS menyampaikan surat terbuka ke publik tentang perundungan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh rekan kerjanya sendiri lewat media sosial Twittertwiter dan kemudian menjadi viral. Dalam surat terbukanya tersebut, diketahui bahwa aksi perundungan dan pelecehan seksual telah menimpanya sejak tahun 2015. Perundungan dan pelecehan seksual tersebut menyebabkan trauma dan stress hingga MS harus berobat ke RS Pelni pada 2017 lalu karena mengalami penurunan fungsi tubuh dan gangguan kesehatan.
Aksi perundungan yang tak kunjung henti dan dampak negatif yang semakin serius terhadap dirinya, membuat MS akhirnya berani untuk menyatakan kejadian yang dialaminya kepada Komnas HAM pada 11 Agustus 2017. Komnas HAM lalu menyarankan untuk melapor ke polisi karena sudah termasuk bentuk kejahatan dan tindak pidana. MS kemudian baru berani membuat laporan ke polisi pada tahun 2019, tetapi sayangnya pihak kepolisian hanya mengarahkan agar korban melaporkan terlebih dahulu ke atasan dan diselesaikan secara internal di kantor.
Sesuai dengan saran kepolisian, MS lalu mengadu ke atasan dengan menceritakan semua perundungan dan pelecehan yang dialaminya, dan ternyata solusi dari atasannya hanya berupa pemindahan ruang kerja untuk menghindari terjadinya kejadian yang sama, semetara para pelaku tidak mendapatkan sanksi apa pun. Namun sia-sia saja upaya tersebut, aksi perundungan tetap berlanjut. Karena dorongan emosional yang sudah memuncak, MS kembali melapor ke Polsek Gambir pada tahun 2020 lalu, namun tetap tak ada tanggapan yang serius dari pihak kepolisian.
Akhirnya, menyampaikan surat terbuka ke publik lewat media sosial menjadi jalan terakhir yang ditempuh MS agar kejadian yang menimpa dirinya dapat diproses dengan serius oleh pihak penegak hukum. Tentu saja, setelah mendapat sorotan dari publik, laporan MS pada 1 September 2021 langsung ditindaklanjuti serius oleh kepolisian dengan memanggil ke lima orang terduga untuk diperiksa. Polisi akan memakai pasal 289 dan 281 KUHP junto pasal 355 tentang pencabulan dan kejahatan terhadap kesopanan. Namun setelah proses pemeriksaan, kuasa hukum dari terduga menyampaikan pernyataan bahwa akan melapor balik MS dengan menggunakan pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang tindak pidana pencemaran nama baik.
Paradoks Hukum Tentang Perlindungan Korban Pelecehan Seksual
Kata paradoks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu pernyataan yang seolah-olah bertentangan dalam kenyataan atau pendapat umum, namun pernyataan tersebut benar-benar terjadi. Definisi tadi ternyata sesuai dengan realitas hukum di negara kita tentang perlindungan terhadap korban pelecehan seksual. Hukum yang seharusnya menjadi rumah tempat para korban berlindung dan mendapat keadilan, nyatanya mulai roboh dan mengancam hidup orang-orang di dalamnya. Hal ini bisa kita lihat dari penggunaan pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang tindak pencemaran nama baik yang digunakan sebagai tameng untuk melindungi pelaku sekaligus menjadi alat untuk menyerang balik korban kekerasan seksual itu sendiri.
Kasus pelecehan seksual merupakan sesuatu hal yang sangat kompleks sehingga alat penegakannya juga harus terperinci dengan memperhatikan proses pemulihan dan perlindungan terhadap korban baik sebelum dan sesudah proses hukum berlangsung. Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat para korban pelecehan seksual pasti mengalami trauma sehingga sulit untuk mengungkapkan dan berbicara tentang kejahatan yang menimpa dirinya.
Namun sampai sekarang instrumen hukum yang dipakai untuk memproses kasus pelecehan seksual hanyalah pasal-pasal dalam KUHP yang sudah sangat tidak relevan lagi untuk menanggulangi masalah saat ini. KUHP sendiri hanya mengatur kasus kekerasan seksual seperti pencabulan dan pemerkosaan saja, sedangkan era kontemporer saat ini kasus pelecehan seksual bisa terjadi bahkan melalui media sosial. Karena instrumen hukum yang tak cukup mapan untuk menampung segala kasus pelecehan seksual, akhirnya banyak laporan yang tidak bisa ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Apalagi dengan adanya UU ITE yang sekarang digunakan oleh pelaku pelecehan seksual untuk menyerang balik korban jika gugatannya tak berhasil, membuat para korban semakin berat untuk berani melaporkan segala kasus kejahatan seksual yang mereka alami karena ketakutan akan dikriminalisasi. Dengan ini maka gunung es kekerasan seksual ini akan semakin dalam ke bawah dan sedikit yang terlihat ke permukaan.
Bagaimana Sistem Hukum Yang Tepat?
Mau maju tapi tak berkaki
Mau meninju tapi tak bertangan
Mau bersuara tapi tak bermulut
Akhirnya ia mati dalam ketidakberdayaannya
Mungkin ungkapan ini yang pantas untuk menggambarkan korban pelecehan seksual yang tidak mendapatkan perlindungan hukum untuk berani bersuara dan mencari keadilan, malah dengan hukum itu sendiri para korban bisa diancam pidana. Hal inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama untuk selalu mendorong beberapa upaya yang dapat dilakukan demi menghilangkan paradoks hukum ini.
Upaya pertama yang harus dilakukan adalah dengan segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sebagai instrumen hukum yang membahas secara spesifik tentang kekerasan seksual daripada KUHP yang digunakan selama ini. RUU PKS mempunyai beberapa kelebihan seperti menyediakan regulasi untuk upaya pencegahan, pemulihan korban sebelum, selama, dan sesudah peradilan. Selain itu, RUU PKS juga merinci tindak pidana kekerasan seksual menjadi lebih dalam dan komprehensif sehingga bisa menampung segala kejahatan seksual. Tak hanya itu saja, koordinasi dan pengawasan sehingga instrumen hukum tentang perlindungan kekerasan seksual ini tetap berjalan dinamis mengikuti konteks perkembangan zaman.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan yaitu moratorium kasus ITE. Dengan melakukan moratorium, diharapkan pemerintah serta DPR juga sambil melakukan revisi terhadap pasal-pasal karet yang banyak mengandung nilai-nilai bias yang rentan sekali disalahgunakan untuk menaklukan orang tak bersalah. Salah satu contohnya seperti kasus kekerasan seksual dengan kelemahan instrumen hukum pendukungnya, membuat UU ITE begitu mudah digunakan untuk mengancam korban melalui tuduhan pencemaran nama baik.
Jika kedua langkah ini bisa dilaksanakan, maka paradoks hukum tentang perlindungan korban pelecehan seksual dapat dihilangkan sehingga hukum benar-benar menjadi rumah yang kokoh bagi masyarakat tertindas yang memerlukan perlindungan dan sedang mencari keadilan.Selain itu, dengan instrumen hukum yang sudah semakin mapan dan komprehensif, serta pasal-pasal bias yang berpotensi disalahgunakan untuk mengkriminalisasi korban, menjadi sebuah langkah besar dalam upaya pemberantasan kejahatan seksual di Indonesia.
Referensi:
Annisa Ridwan, Hayati Inten, Elwi Gito (2021). Keunggulan Muatan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Diakses dari: 2021 2 24 — Tanpa ISBN — 6 Keunggulan Muatan RUU PKS
Adi Maulana (2021). Jejak Kasus Pelecehan Seksual KPI Hingga Ditangani Polisi. Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210903212754-12-689583/jejak-kasus-pelecehan-seksual-kpi-hingga-ditangani-polisi
Ayomi Amindoni (2021). UU ITE: Pemerintah bentuk tim kajian reformasi UU ITE, diharapkan dua bulan ke depan ada solusi soal pasal karet. Diakses dari: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56088560