Jurang Utang Negara: Menilai Nasionalisme Ekspatriat dan Konglomerat Indonesia
Tak henti-hentinya Indonesia dihujani oleh tantangan ekonomi. Dimulai dari urgensi untuk keluar dari middle income trap, premature deindustrialization, dan yang kini menghantui yaitu selamat dari bencana kesehatan dan resesi ekonomi. Tak dapat dipungkiri bahwa untuk selamat dari tantangan ini membutuhkan pengorbanan yaitu arus dana yang kuat. Lantas, salah satu solusi yang diambil pemerintah yaitu menerbitkan berbagai bentuk surat utang.
Tak jarang, utang negara menjadi topik yang secara massal dibahas oleh masyarakat. Berbagai sudut pandang dan latar belakang pendidikan turut ramai menemukan solusi yang terbaik untuk Indonesia. Ada yang kekeh dengan konsep berdikari hingga eksploitasi instrumen utang sebaik mungkin. Namun, kali ini penulis berusaha untuk menelaah tentang siapakah para dermawan yang bersedia “meminjamkan” asetnya untuk kebaikan negara. Apakah konglomerat Indonesia? Atau malah ekspatriat?
“Utang merupakan instrumen whatever it takes untuk menyelamatkan
warga negara dan perekonomian kita”- Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia
Andil pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan presiden erat kaitannya dengan kebijakan utang. Bahkan, sebenarnya kita dapat mengetahui orientasi dan ideologi setiap presiden Indonesia bercermin dari kebijakan utangnya. Dimulai dari Presiden Soekarno yang kekeh dari berdikarinya, hingga Presiden Jokowi yang mendukung ekspansi ekonomi secara masif.
Bukan sekedar meraih reputasi politik belaka, namun terdapat urgensi dari kebijakan utang Indonesia saat ini. Indonesia masih memiliki tantangan ekonomi meskipun tergolong memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Belum berhasil lolos dari middle income trap, Indonesia justru turun menjadi low middle income. Ditambah lagi permasalahan menurunnya porsi industri manufaktur, padat karya, terhadap pdb. Tentu, hasil akhir yang diharapkan dari selesainya permasalahan tersebut adalah kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Singkatnya, apabila bergantung pada kondisi saat ini tentu akan memerlukan proses yang lama. Lantas, extra effort diperlukan sebagai batu lompatan pemerintah.
Mari kita tengok angka utang Indonesia terlebih dahulu. Memasuki periode Kabinet Indonesia Maju, perbincangan tentang jumlah utang yang meroket turut diperbincangkan. Memang, secara statistik utang Indonesia naik dari Rp4.192 Triliun di tahun 2015 menjadi Rp6.554 Triliun di bulan Juni 2021.
Sebenarnya, Indonesia memiliki dua opsi dalam instrumen utang yaitu Pinjaman dan Surat Berharga Negara. Pinjaman sendiri juga terbagi dalam pinjaman dalam negeri yang bergantung pada pemerintah daerah maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pinjaman luar negeri yang didapatkan dari organisasi internasional seperti bank dunia. Namun, dari berbagai saluran tersebut, Surat Berharga Negara (SBN) memiliki kontribusi paling besar yaitu mencapai Rp5.393 Triliun atau 86% dari total utang pemerintah, sisanya berasal dari pinjaman luar negeri.
Melalui pinjaman bilateral maupun multilateral, Indonesia secara total memiliki porsi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai Rp850 Triliun atau hampir 13% dari total utang pemerintah. Hal ini dikarenakan memang tugas organisasi tersebut dalam menyediakan dana darurat dan pembangunan negara. Sehingga, alangkah baiknya kita lebih fokus dalam menganalisis sumber Surat Berharga Negara yang memiliki sifat terbuka pada siapa saja yang bersedia membeli SBN dalam mencari kesimpulan dari artikel ini.
Sebelum melanjutkan, mari kita luruskan bahwa ekspatriat yang dimaksud disini bukanlah warga negara asing yang tinggal di Indonesia, namun merupakan dana asing yang singgah menjadi penyokong utang negara. Sebut saja aliran dana dari organisasi internasional, hingga dari investor asing.
Sedangkan, konglomerat disini merupakan orang Indonesia yang dermawan memberi uang pribadinya untuk utang negara. Memang, secara definisi konglomerat adalah pengusaha besar dan pembeli surat utang negara bisa dari kalangan mana saja. Namun terus terang saja, bukankah kita perlu jumlah uang yang besar untuk dapat berandil dalam surat utang negara?
Sebelum pandemi melanda, porsi ekspatriat dalam SBN dinilai cukup tinggi yaitu konsisten diatas 35%. Angka ini tergolong cukup tinggi melihat indikator ideal kepemilikan asing terhadap SBN ada pada tingkat 25%. Selain itu, tingginya porsi ini juga mengejutkan apabila mempertimbangkan penilaian surat utang negara
Melihat rating atau peringkat risiko surat utang Indonesia masih di tingkat BBB per April 2021. Artinya? Meskipun standar perbankan masih memperbolehkan, Namun obligasi Indonesia tetap dianggap buruk dan hanya dua tingkat diatas junk bond atau obligasi tak layak. Disamping unsur untuk memperoleh untung, antusias ekspatriat untuk pembangunan Indonesia layak untuk diapresiasi.
Alur cerita beralih pada kondisi pandemi. Penurunan kepemilikan asing terhadap SBN pada awal pandemi tentu bukan hal yang mengejutkan. Efek kejut pun dirasakan pemerintah sehingga terpaksa harus melakukan pinjaman bilateral maupun multilateral. Ternyata, kondisi ini tidak berlangsung lama. Rasa nasionalisme atau kepedulian konglomerat Indonesia nampak dari andil investor lokal yang konsisten mencapai angka 75% dari total SBN Indonesia.
Selain melalui utang, peran investor dalam “meletakkan” modalnya di Indonesia dapat menjadi solusi lain. Mengapa? Tentu karena adanya tambahan uluran tangan dari sektor swasta dalam membangun negara. Dalam konteks artikel ini, mengalirnya arus modal dan pendirian usaha dapat menjadi sumber pendapatan negara lainnya melalui saluran perpajakan.
Disaat pemerintah fokus pada sektor primer seperti infrastruktur, swasta datang sebagai pembuka lapangan kerja bagi masyarakat. Kolaborasi ini dapat mempercepat dan mempermudah beban pemerintah dalam menyelesaikan masalah ekonomi Indonesia dan bersifat lebih berkesinambungan.
Namun, lagi-lagi pencapaian ini tidaklah mudah. Kita masih memiliki kendala dalam kemudahan melakukan bisnis melihat peringkat Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia masih bertengger pada peringkat 73. Banyak indikator yang menjadi pekerjaan rumah Indonesia seperti kemudahan izin usaha, mendapatkan kredit, pembayaran pajak, dan tujuh indikator lainnya.
Maka apabila mengacu pada kondisi pra-pandemi, kecintaan warga negara asing terhadap surat utang negara dinilai cukup tinggi mengacu pada rating SBN Indonesia yang tergolong rendah. Namun kesulitan Indonesia ketika pandemi dijawab oleh nasionalisme konglomerat Indonesia. Konglomerat Indonesia berperan signifikan dalam membantu Indonesia terlihat dari peningkat porsi uang investor lokal terhadap total SBN Indonesia.
Namun, kesimpulan ini tentu tidak bersifat permanen. Kondisi ekonomi yang kembali stabil mungkin dapat mengembalikan pola pikir para pemilik modal seperti kondisi sebelum pandemi. Tentu, kondisi tersebut tidak diharapkan terjadi namun nasionalisme konsisten yang dimiliki oleh seluruh konglomerat Indonesia. Kontribusi konglomerat melalui sektor usaha juga terhambat pada struktur bisnis Indonesia sendiri. Kolaborasi antara pemerintah dan pelaku bisnis lantas cukup dinanti baik untuk tambahan sumber dana pemerintah maupun solusi dari permasalahan ekonomi lainnya.