No one ever changed the world on 40 hours a week and who recommends reaching an 80 hours/week threshold, possibly peaking at 100 — Elon Musk
Berkaca dari pengalaman keberhasilan Steve Jobs, Elon Musk, Mark Zuckerberg sebagai pengusaha sukses di usia muda, justru membuat banyak anak muda menjadikan hustle culture sebagai bagian dari usaha menuju kesuksesan. Merekalah yang meng-glorifikasi Hustle Culture, sehingga banyak anak muda yang menganggap bahwa satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Bahkan saat ini tak jarang dari kita yang menyantap makanan bersama dengan handphone di genggaman membahas pekerjaan. Budaya ini seolah merebut kita dari kehidupan pribadi layaknya keluarga, kesehatan, hingga waktu luang.
About Hustle Culture
Hustle Culture dikenal sebagai gaya hidup seseorang yang merasa bahwa tolak ukur kesuksesannya adalah dengan harus bekerja keras setiap saat dan hanya meluangkan sedikit waktu bahkan tidak sama sekali untuk beristirahat. Beberapa dari kita akrab dengan sebutan “gila kerja”.
Pada tahun 1971, gejala gila kerja ini ditemukan pertama kalinya dan terus berkembang dengan cepat di seluruh dunia terutama dewasa ini. Stigma bahwa menjadi sukses haruslah menghabiskan seluruh waktu untuk bekerja seolah menghipnotis kalangan muda untuk terus bekerja tanpa henti. Bahkan dewasa ini, hustle culture telah menjadi standar tolak ukur kinerja dan produktivitas generasi muda!!!
Hustlers
Mereka yang termasuk dalam hustle culture dinamakan hustlers. Salah satu ciri hustlers adalah tidak mau menjadi yang tertinggal atau terbelakang. Hustlers akan selalu belajar, bekerja keras, bahkan mengorbankan segalanya untuk mencapai puncak suksesnya. Bahkan hustlers itu akan merasa bersalah saat sedang beristirahat maupun berlibur. Kenapa?
Menurut mereka, segala hal yang dikerjakan harus berhubungan dengan pekerjaan. Jadi semakin banyak kerja maka semakin dekat mencapai puncak suksesnya. Bagi hustlers yang dilakukannya adalah bentuk produktivitas. Padahal produktivitas berarti menghasilkan output berkualitas di waktu singkat sedangkan hustlers bekerja dalam durasi panjang tanpa memperhatikan kualitasnya. Lalu, bagaimana akibatnya?
Hustle Culture’s Impact Around the World
Hustle culture bisa dibawa melalui lingkungan maupun secara turun temurun. Tanpa disadari, orang tua yang membanding-bandingkan anaknya akan memengaruhi bawah sadar anak bahwa ia harus kompetitif bagaimanapun caranya. Bagi beberapa hustlers, cara ini akan memotivasi untuk bekerja keras dalam menggapai mimpi dan kesuksesan. Namun, adanya tuntutan pekerjaan membuat kamu menjadi multitasking secara tidak langsung.
University of London pernah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa multitasking memengaruhi IQ seseorang bisa turun hingga 10 poin. Hal ini tidak hanya akan berpengaruh pada fisik namun juga mental seseorang. Stres, tekanan darah tinggi, kelelahan, kenaikan atau penurunan berat badan secara drastis, panic attack, depresi, dan masih banyak lagi bisa merusak sistem kekebalan tubuh seseorang.
Menurut penelitian dalam jurnal Occupational Medicine menyatakan bahwa orang dengan jam kerja lebih panjang cenderung mengalami kecemasan, depresi, serta gangguan tidur. Sebanyak 55% pekerja di Amerika Serikat mengalami stress karena pekerjaan. Dan angka tersebut 20% lebih tinggi dibandingkan angka keseluruhan di dunia.
Tidak hanya Amerika Serikat, menurut Mental Health Foundation UK, di Inggris terdapat 14,7% pekerja mengalami gangguan kesehatan mental. Jepang yang dikenal sebagai negara yang masyarakatnya gila kerja pun mengalami peningkatan 3 kali lipat atas pekerja yang mengalami penyakit jantung, stroke, hingga gangguan mental akibat kelelahan bekerja. Bahkan korban hustle culture yang mengorbankan nyawa juga selalu bertambah. Lalu di Indonesia bagaimana?
Rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan 100 jam per minggu untuk bekerja. Fakta bahwa beberapa bekerja antara 75–80 jam per minggu dengan tolak ukur pekerja penuh waktu adalah 40 jam per minggu sudah lazim di kalangan pekerja saat ini. Di Indonesia, 1 dari 3 pekerja mengalami gangguan mental akibat jam kerja berlebih. Terlebih di masa pandemi ini, himbauan agar produktif di rumah sudah menjamur hingga memunculkan tren hustle culture baru. Bagaimana cara menyikapinya?
How to Deal with Hustle Culture
Remember when Lady Gaga said..
“Tell me somethin’, girl
Are you happy in this modern world?
Or do you need more?
Is there somethin’ else you’re searchin’ for?”
Do you really feel that?
Hustlers mempercayai bahwa apa yang dilakukan tidak pernah cukup mencapai kesuksesan. Namun sebagai kalangan muda cerdas, kita harus memahami bahwa tubuh setiap orang memiliki kapasitas berbeda. Memiliki ambisi dan misi untuk bekerja keras memang tidak salah namun harus cerdas dalam membagi waktu untuk istirahat, waktu dengan keluarga, serta menjaga kesehatan fisik dan mental.
Jadi apakah sebenarnya hustle culture baik untuk kita? It’s on you
Referensi :
Komunitas Kala Krisis Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (2020). Diakses dari: https://fk.unair.ac.id/mengenal-hustle-culture-budaya-gila-kerja-generasi-muda/
Adinda Putri Sandra Fatmawati (2020). Hustle Culture: Normalisasi Kultur Grinding. Diakses dari:
https://rahma.id/hustle-culture-normalisasi-kultur-grinding/
Imelda Rahma (2021). Mengenal Gaya Hidup Hustle Culture yang Banyak Diminati Anak Muda. Diakses dari: