“Cancel culture is not actually about justce. It is about control. People use cancellation to force conformity to ideal”
- Teal Swan -
J.K. Rowling, penulis novel Harry Potter, ter’canceled’ karena komentarnya dinilai transfobia, Ellen Degeneres, Host-komedian, ter’canceled’ karena tuduhan lingkungan kerja yang tidak sehat, Harvey Weinstein, produser Hollywood, ter’canceled’ karena terjerat kasus pelecehan seksual, dan beberapa tokoh lainnya. Apakah tindakan ini adil bagi para korban? Apakah karya setiap tokoh ter’canceled’ harus dihapuskan? Apakah ini yang disebut keadilan?
About Cancel Culture
Singkatnya Cancel Culture dikenal dengan istilah boikot. Mengutip kamus Merriam-Webster, Cancel Culture dapat diartikan sebagai aksi pembatalan yang berkaitan dengan pencabutan dukungan terhadap tokoh masyarakat sebagai tanggapan atas perilaku atau pendapat yang tidak menyenangkan. Ini dapat mencakup boikot atau penolakan untuk mempromosikan pekerjaan mereka.
Cancel Culture merupakan sebuah praktik yang sedang populer di media dengan mengumpulkan dukungan untuk mengeluarkan seseorang dari lingkaran sosial atau profesional, baik itu secara online di media sosial, maupun secara langsung. Tren ini cukup banyak dibicarakan karena dampaknya yang cukup signifikan. Mulai dari dikucilkan dari lingkungan sosial hingga berakhirnya karir dan hidup seseorang.
How did this all start
Cancel Culture ditengarai berawal dari adanya Doxxing. Doxxing merupakan sebuah praktik berbasis internet untuk menyebarkan informasi pribadi seseorang yang bertujuan untuk menjatuhkan orang tersebut. Informasi pribadi ini biasanya didapatkan dari media sosial maupun jejak digital lainnya. [cek sovoartikel data personal]
Setelah penyebaran informasi pribadi, hal ini dapat berlanjut pada penguakkan latar orang tersebut. Baik dari kehidupan sosial, kehidupan keluarga, hingga kehidupan masa kecilnya. Banyak perlakuan atau pemikiran problematik yang sudah biasa kita diamkan, namun sekarang dapat menjadi suatu masalah yang bahkan membuat orang tersebut dapat ter’canceled’.
Does Cancel Culture really work?
Well sometimes it does, sometimes it doesn’t. Sebagai contoh, Saipul Jamil, sosok yang bebas dari penjara beberapa waktu yang lalu setelah terjerat kasus pencabulan namun malah disambut oleh media massa seakan keluarnya seorang cabul ini ditunggu-tunggu oleh banyak masyarakat. Atau pada kasus kabur dari karantina, Rachel Vennya, yang notabene merupakan seorang influencer besar di sosial media. Atau bahkan bintang drama korea, Kim Seon-ho, yang sedang berada di puncak kesuksesannya setelah drama barunya laku keras. Yang menjadi pertanyaan adalah kapan terakhir kita mendengar soal mereka kecuali sedang membahas kasus-kasus mereka?
“How do you cancel a legend?” they said. Seorang musisi band legenda the Beatles, John Lennon, nyatanya adalah seorang abuser dan hal ini merupakan permasalahan yang cukup serius. Namun apakah seorang dengan pengaruh yang sangat besar dan sudah meninggal dunia bisa di-cancel?
Pro and Anti Cancel Culture
How easy it is for us to become the people that we dislike — Ayishat Akanbi
Akankah kamu membeli produk atau menikmati karya dari seorang yang telah melakukan tindakan atau pemikiran yang problematik? Apakah cancel culture telah berada di luar kendali? Ya? Tidak? Setiap jawaban dari pertanyaan yang ada tidak akan sekedar ya dan tidak karena setiap manusia memiliki alasannya sendiri yang dirasa sesuai dengan yang dipercayainya.
Cancel culture merupakan hal yang cukup kompleks karena manusia adalah makhluk yang kompleks. Kita tidak boleh meremehkan kecepatan otak kita dalam berpikir dan beropini. Manusia berubah karena terus tumbuh dan berkembang. Sebagai sesama manusia tentunya kita harus saling menghargai keputusan dan pilihan hidup masing-masing. Namun apabila seseorang melakukan kejahatan, maka ia harus bertanggung jawab dan menanggung akibatnya.
Setiap manusia berhak untuk memilih yang disukainya dan tidak. Gerakan “me too” mendapat respon cukup baik di masyarakat. Namun saat opini publik terlibat, disitulah muncul pro dan kontra terhadap fenomena ini. Apakah karya dari seseorang yang melakukan kejahatan harus dihapuskan? Apakah adil bagi orang tersebut? Bagaimana dengan korban kejahatannya? Apakah tercipta keadilan bagi korban?
Bagi sebagian masyarakat, cancel culture dapat diibaratkan seperti memotong lengan saat jari tangan terinfeksi. Namun di sisi lain, hal tersebut dianggap diperlukan agar masyarakat tahu bahwa tindakan problematik yang dilakukan oleh orang tersebut tidak dibenarkan dan memiliki akibat yang besar. Hal tersebut juga dianggap dapat menjadi contoh agar tidak ada manusia lain yang melakukan hal serupa.
Is Cancel Culture here to stay?
“Canceling is a way to acknowledge that you don’t have to have the power to change structural inequality” — Anne Charity Hudley, ketua linguistik African American untuk University of California Santa Barbara di interview nya untuk Vox.
Semua perdebatan tentang baik dan buruk nya culture ini mengarah kepada satu pertanyaan, Apakah semua ini akan bertahan? Pada satu sisi kita dapat melihat bahwa ini mungkin adalah bentuk kekecewaan dari society akibat kurang adanya konsekuensi nyata terhadap mereka yang melakukan kesalahan. Atau mungkin juga merupakan bentuk nyata ketidakpercayaan society kita pada para penegak hukum. Sedangkan disisi lain, Apakah kebebasan ini akan menimbulkan masalah lain kedepannya? Only time will tell.
So what’s your opinion about cancel culture, Sovopeople? Apakah cancel culture akan bertahan? Apakah ini adalah masa depan dari society kita?
Referensi
Nadia Safira (2020). Lika-Liku Media Sosial: Bahaya Doxxing dan Cancel Culture. Diakses dari:
Rivan Dwiastono (2021). Cancel Culture Marak di AS, Bagaimana di Indonesia. Diakses dari:
https://www.voaindonesia.com/a/cancel-culture-marak-di-as-bagaimana-di-indonesia-/5806176.html
Evan Nierman (2021). Be Careful: Cancel Culture Is Here To Stay. Diakses dari:
Lily Silverton (2021). All The Reasons Why Cancel Culture Is So Toxic For Our Mental Health. Diakses dari:
https://www.vogue.co.uk/beauty/article/cancel-culture-toxic-for-mental-health/amp
Nicole Dudenhoefer (2020). Is Cancel Culture Effective?. Diakses dari: