Bisakah Kita Menyalahkan Biliuner atas Krisis Iklim?

Sovomore
6 min readAug 19, 2021

--

Lindungi bumi dengan menanam pohon dan tidak buang sampah sembarangan adalah jargon klasik yang diceritakan berulang kepada kita sejak kecil. Kita tahu bahwa aksi mulia tersebut dilakukan untuk melindungi bumi dari perubahan iklim. Pemanasan global adalah bak dongeng yang jauh, hanyalah perkara es mencair di Antartika nun jauh disana, seperti halnya kenaikan permukaan air laut dan suhu bumi yang makin hangat hanya mitos. Kita merasa aman karena perubahan iklim tersebut tidak berdampak langsung dengan kehidupan kita sehari-hari.

Selama ratusan tahun, manusia berevolusi dan berkembang menyesuaikan diri dengan lingkungannya, termasuk menciptakan teknologi untuk mempermudah pekerjaannya. Dimulai dari mesin uap yang menjadi tonggak utama dari bergeraknya industri era baru bagi manusia, semenjak ditemukan oleh james watt mesin ini kemudian perlahan tapi pasti mengubah pola hidup manusia menjadi industrialisasi. Setelahnya bermunculan mesin-mesin lain yang lebih canggih dan menggantikan pekerjaan manusia.

Seperti takdir, selama ini pemanasan global dikonstruksikan ibarat harga yang harus dibayarkan untuk sebuah kemajuan. Bahwa peningkatan ekonomi sejajar dengan pembakaran bahan bakar fosil. Bahwa kerusakan bumi saat ini adalah hal yang alami dan sudah sepatutnya terjadi.

Bendera merah peringatan umat manusia

Pada awal Agustus Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengeluarkan laporan ‘Code red for Humanity’ dalam perubahan iklim. Laporan ini menyangkut aspek pada perubahan iklim, seperti berapa banyak efek rumah kaca yang mempengaruhi bumi, berapa derajat bumi saat ini dan seterusnya. Hasilnya, mereka membuat dua skenario yang pertama adalah best case scenario dimana bumi mengalami kenaikan suhu sebesar 1,4 derajat, kedua adalah worst case scenario dimana bumi mengalami kenaikan suhu sebesar 4,4 derajat.

Mungkin sebagian akan beranggapan “oh itu bukan angka besar” tetapi yang perlu diketahui bahwa setiap dua derajat kenaikan suhu bumi akan ada sekitar 25% keanekaragaman hayati yang ikut musnah, mengakibatkan 400 juta orang kekurangan air, daerah disekitar garis khatulistiwa seperti Indonesia menjadi tidak layak huni, belum lagi ribuan orang akan meninggal karena heatwave. Sementara kenaikan suhu empat derajat akan memusnahkan sebesar 60% keanekaragaman hayati. IPCC mengatakan bahwa semakin hangat bumi maka segala sesuatunya rusak lebih cepat. Hutan hujan akan semakin kering, sebaliknya gurun akan semakin basah. (Masson-Delmotte, et al:2021)

Kira-kira begini rentetannya…

Setelah suhu bumi semakin panas maka akan berpengaruh langsung pada laut, cuaca, dan kesehatan kita. Suhu yang semakin panas akan berpengaruh pada gletser yang kemudian mencair dan menjadikan permukaan air laut naik. Cuaca juga semakin ekstrim di suhu yang panas menjadikan banyak bencana alam terjadi, termasuk kekeringan sehingga tentu akan mengancam pangan kita sekaligus ekosistem flora dan fauna. Efek pada kesehatan manusia juga tidak kalah berbahaya karena partikel ozon yang di udara meningkat tajam pada suhu yang tinggi, masalah kesehatan seperti asthma, penyakit paru-paru hingga kanker paru-paru meningkat. Bukan tidak mungkin kita akan hidup seperti film science-fiction pada tahun 2100 nanti.

Korban keserakahan

Banjir, longsor dan bencana alam lain yang memakan korban jiwa menjadi tak terhindarkan. Bencana-bencana tadi akan berimbas paling parah kepada penduduk-penduduk miskin dunia, mereka yang bahkan tidak ikut berkontribusi pada perubahan iklim lah yang terdampak paling parah. Kelaparan dan kekeringan akan sangat terasa bagi mereka yang menggantungkan hidupnya pada alam.

Sumber foto : Climate Crisis: 30 Dead & Thousands Evacuated Due To Jakarta Flash Floods (greenqueen.com.hk)

Indonesia sendiri sebagai salah satu negara agraris dunia akan rentan terhadap perubahan iklim. Musim paceklik menjadi momok menakutkan petani karena jika tidak ada hasil panen maka mereka akan kehilangan sumber penghasilan utamanya. Di daerah perkotaan banjir juga tidak kalah menakutkan bagi penduduk kelas pekerja, sektor ekonomi bisa jadi lumpuh total jika banjir terlampau parah. Jika bencana terjadi si Kaya akan memiliki banyak opsi, sementara si Miskin gigit jari.

Jadi apa yang salah?

Penyebab utamanya tentu kegiatan manusia mulai dari polusi hingga over populasi, seperti nahkoda sebuah kapal manusia menuntun bumi pada kehancuran ekosistem. Diperparah dengan maraknya praktek eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan besar yang semakin tak terkendali, tidak adanya regulasi peraturan yang cukup ketat untuk menjerat para perusahaan ini dari pelanggaran perusakan lingkungan. Pertemuan semacam World Economic Forum menjadi bukti riil bahwa kekuasaan dan kekayaan berhubungan erat, pembahasan yang makin populer seperti “ekonomi yang adil” dan “bagaimana menyelamatkan bumi”. Para elit dunia berlomba-lomba berdonasi milyaran dollar untuk renewable energy atau climate change action padahal merekalah akar permasalahan utamanya.

Sumber foto : Top Five billionaires in world (mixreads.com)

And here’s why billionaires won’t save us

Saya akan membahas sedikit mengenai kenyataan yang mungkin akan menjadi pil pahit bagi kita semua. Di era kapitalisme seperti saat ini barangkali segala sesuatunya dihalalkan termasuk menggunduli hutan dan lahan demi keuntungan. Lebih dari setengah polusi karbon dunia dihasilkan oleh industri ekstraksi (Watts:2019). Headline berita bahwa biliuner menyumbangkan kekayaan nya untuk isu lingkungan bukanlah hal yang baru, dengan angka fantastis yang mereka sumbangkan, sebagian akan berpikir “setidaknya, perusahaan ini peduli terhadap isu lingkungan” atau “semakin banyak uang untuk hal-hal penting”. Sementara pada kenyataanya akan lebih rumit dari yang kita lihat. Uang yang mereka donasikan sebenarnya tidak lebih dari sekedar modal untuk publikasi dan memperbaiki citra. Mengapa demikian? Jumlah uang yang mereka donasikan memang terlihat fantastis bagi sebagian besar orang, namun jika kita hitung dari total kekayaan mereka jumlah uang tersebut bahkan tidak mendekati satu persen!

Selama ini kita diberi tahu bahwa bisnis model baru, inovasi dan kemajuan teknologi dapat menyelamatkan lingkungan selagi memajukan perekonomian, namun disinilah kita dituntut percaya bahwa green capitalism adalah jalan keluarnya. Padahal yang dibutuhkan adalah pendekatan yang berbeda dalam mengatur ekonomi berdasarkan keberlanjutan yang adil (Ponte:2019). Bahkan terdapat wacana radikal bahwa negara-negara di dunia harus menghentikan pertumbuhan ekonomi secara global untuk mencegah kerusakan yang lebih masif terhadap bumi, karena logikanya dunia yang lebih maju akan lebih konsumtif.

Jika memang mereka ingin memerangi masalah lingkungan dan perubahan iklim seharusnya dapat dilakukan dari perbaikan regulasi perusahaan yang membuat mereka kaya. Donasi milyaran yang mereka lakukan adalah upaya untuk menutupi kejahatan yang bernilai triliunan. Sistem yang ada saat ini juga merupakan pendukung berlangsungnya praktek tidak etis ini, sistem ini tidak mampu menghukum mereka yang berbuat kejahatan karena merekalah tangan-tangan dibalik kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan kata lain, para biliuner ini harus merelakan privilege dan kekayaan mereka jika mereka ingin benar-benar membantu pencegahan perubahan iklim.

Kita harus apa?

Mengandalkan filantropi dari orang kaya jelas bukan solusinya, menengadah pada mereka hanya akan melegitimasi kekuasaannya dan mempermudah monopolisasi kebijakan terkait. Transformasi aksi untuk perubahan iklim tidak seharusnya didanai oleh mereka karena akan mengandung kepentingan dan bias. Cara yang mungkin dapat dilakukan oleh kita agar tidak mengandalkan uluran tangan dari mereka adalah menjaga komunitas terdekat kita dan membangun kekuatan masyarakat sendiri. Aksi dan progress yang sebenarnya adalah mengambil alih kekuasaan dari segelintir orang-orang tersebut melalui pajak yang memberatkan dan gerakan yang berakar dari sistem demokratis yang kolektif. Perubahan yang nyata seharusnya datang dari keseluruhan dunia melalui gerakan yang berorientasi kepada masyarakat itu sendiri; mengubah eksploitasi pekerja menjadi kebebasan pekerja dan mengubah degradasi lingkungan menjadi pengelolaan lingkungan. Hal tersebut tidak mungkin tercapai jika hanya segelintir orang kaya yang memiliki kuasa atas segalanya dan tidak menyerahkan kekuasaannya.

Pertanyaannya adalah mampukah segelintir orang kaya tersebut merelakan privilege mereka?

Bibliography

Watts, Jonathan. “Resource extraction responsible for half world’s carbon emissions.” The Guardian, 12 March 2019, https://www.theguardian.com/environment/2019/mar/12/resource-extraction-carbon-emissions-biodiversity-loss. Accessed 17 August 2021.

IPCC, 2021: Climate Change 2021: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Masson-Delmotte, V., P. Zhai, A. Pirani, S. L. Connors, C. Péan, S. Berger, N. Caud, Y. Chen, L. Goldfarb, M. I. Gomis, M. Huang, K. Leitzell, E. Lonnoy, J. B. R. Matthews, T. K. Maycock, T. Waterfield, O. Yelekçi, R. Yu and B. Zhou (eds.)]. Cambridge University Press. In Press.

IPCC, 2021: Summary for Policymakers. In: Climate Change 2021: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [MassonDelmotte, V., P. Zhai, A. Pirani, S. L. Connors, C. Péan, S. Berger, N. Caud, Y. Chen, L. Goldfarb, M. I. Gomis, M. Huang, K. Leitzell, E. Lonnoy, J. B. R. Matthews, T. K. Maycock, T. Waterfield, O. Yelekçi, R. Yu and B. Zhou (eds.)]. Cambridge University Press. In Press.

Ponte, Stefano. “Green capitalism and unjust sustainabilities.” Temanummer: Klimakrisen, vol. 4/2019, 2019, p. 102, https://www.djoef-forlag.dk/openaccess/samf/samfdocs/2019/2019_4/Samf_12_4_2019.pdf.

Fred, Magdoff, and John Foster. “Tuntutan Revolusi Ekologis.” Kurung Buka, 2019, https://www.kurungbuka.com/tuntutan-revolusi-ekologis/. Accessed 18 08 2021.

--

--

Sovomore
Sovomore

Written by Sovomore

Highlighting social, economic, political, and pop culture issues — in an adequate portion. #tobeMORE

No responses yet