Bayang-Bayang Kehancuran Peradaban Akibat Learning-Loss: Nostalgia era Perang Dunia II?
Lika-liku pembelajaran online telah dilalui para pelajar Indonesia. Tak jarang, keluhan seputar tidak efisiennya sistem pembelajaran terus menghujani rapor pendidikan yang tak jelas arahnya kemana. Evaluasi pun tak kunjung datang, hanya harapan akan usainya wabah membutakan masalah yang jelas nampak didepan mata.
Mati satu tumbuh seribu. Usainya pandemi masih meninggalkan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Fenomena learning-loss atau rendahnya serapan ilmu oleh para pelajar lantas datang menghantui. Bagaimana tidak menyeramkan, sektor pendidikan berperan cukup vital pada perkembangan peradaban selanjutnya. Ternyata, fenomena ini telah menghampiri dunia ketika pasca Perang Dunia II. Learning-loss menjadi gelombang masalah lanjutan yang ajaibnya telah dilalui sebelumnya. Lantas, bagaimana drama berkepanjangan ini terjadi? Apakah tantangan kali ini dapat usai dengan jurus yang sama?
Dihadapkan dengan dengan keparahan yang berbeda, setiap negara memiliki urgensi yang sama dalam pembatasan interaksi langsung pada segala aktivitas. Pada sektor pendidikan, tercatat 1,2 milyar anak-anak dari 186 negara terpaksa melakukan pembelajaran online di seluruh dunia. Kesiapan fasilitas penunjang pembelajaran digital menjadi urgensi selanjutnya.
Ternyata, Indonesia masih jauh dari kata sempurna, mengapa? Ketika muncul wacana pembelajaran jarak jauh, hanya 64% dari seluruh penduduk Indonesia yang telah tersentuh jaringan internet, terburuk ke-5 dari 12 negara Asia Tenggara. Prestasi buruk kembali dituah, Indonesia menempati peringkat 9 dari 10 negara seputar kualitas kecepatan internet. Artinya, dari sisi kuantitas maupun kualitas internet Indonesia belum ada yang mencapai kata layak.
Kiprah ini diperburuk dengan kesenjangan Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) di berbagai wilayah Indonesia. Secara rata-rata, Indeks indonesia bertengger pada capaian sedang. Namun, nampak kesenjangan nilai indeks antar daerah seperti Jakarta (7,4) dengan provinsi Papua (3,3), semakin tinggi nilai semakin baik. Artinya, penyampaian ilmu yang terjadi antar daerah di Indonesia tak akan sama indahnya.
Selain ketersediaan infrastruktur digital, penyebab personal seperti tidak membutuhkan internet, kepercayaan budaya, rasa takut dengan penyebaran privasi, dan tidak percaya diri dalam menggunakan internet menjadi faktor lainnya. Maknanya, tak hanya infrastruktur fisik dan digital yang jadi perhatian, tetapi juga untaian kata persuasif akan pentingnya internet juga diperlukan.
Ketidaksiapan infrastruktur digital dan sistem pembelajaran tentu berbuntut pada kualitas pendidikan yang diterima oleh para pelajar. Akibatnya, bayang-bayang kemunduran peradaban di masa mendatang kemudian menjadi momok menakutkan bagi seluruh negara di dunia, mengapa?
“This crisis has exposed the many inadequacies and inequities in education systems across the world, disadvantaged young people have been particularly affected” — Andreas Schleicher, OECD Director for Education and Skills.
Adanya pandemi COVID-19 berandil dalam rendahnya tingkat serapan ilmu, learning-loss, pada kalangan pelajar (Engzell, Per. & Frey, Arun. 2020). Terguncangnya sektor pendidikan yang berperan fundamental dalam faktor penentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Lebih lanjut, kualitas SDM menjadi faktor fundamental penentu perkembangan peradaban manusia.
Tercatat, lebih dari 100 juta anak akan jatuh dibawah standar tingkat kemahiran membaca. Angka putus sekolah akibat pandemi COVID-19 cukup memprihatinkan. Selain itu, adanya rasa tertinggal, semakin tertinggal, tidak dapat mengejar, hingga akhirnya menyerah menyebabkan adanya desakan pelajar tidak lulus ujian bahkan putus sekolah.
Lebih lanjut, dilemma meritokrasi sistem seleksi sekolah di Indonesia turut serta meramaikan potensi learning loss pelajar Indonesia. Meskipun telah diturunkan, porsi zonasi yaitu 50 persen pada bangku SMP & SMA dinilai masih cukup tinggi pada pagu penerimaan sekolah. Dampaknya, terjadi penurunan indikator “kepintaran” sebagai syarat melanjutkan tingkat pendidikan.
Bayang-bayang waktu tibanya dampak learning-loss ini masih abu-abu. Besarnya dampak yang terjadi juga turut dipertanyakan. Lantaran, korban yang terdampak learning-loss, pelajar, masih fokus dalam kewajibannya dalam menuntut ilmu. Akan tiba saatnya ketika mereka menjadi pemangku kepentingan negara, dari berbagai profesinya, waktu ketika dampak learning-loss akan nampak secara nyata. Namun, kita dapat menerka dan mengevaluasi fenomena ini dari perang dunia II, mengapa?
Kasih tak sampai, kisah yang terulang kembali. Nyatanya, fenomena learning-loss ini bukan hal yang asing dihadapi oleh dunia. Perang Dunia II (1939–1945) ternyata menuai warisan masalah yang sama, yaitu learning loss. Bedanya, dampak signifikan penurunan kualitas pendidikan memiliki skala yang lebih kecil, yaitu seputaran benua Eropa.
Pada kasus ini, akibat learning-loss baru dirasakan 40 tahun setelah perang dunia berlangsung. Indikatornya, terdapat penurunan pendapatan bagi mereka, pekerja, yang mengalami penurunan serapan ilmu ketika mereka menduduki bangku pendidikan dahulu. Untungnya, dampak masif learning-loss masih dapat diatasi, bagaimana caranya?
Rupanya, teori ekonomi mikro mampu menggambarkan solusi dibalik kemunduran perang dunia II. Digambarkan bahwa fungsi produksi terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam, modal, dan keterampilan (Mankiw, Gregory. 2018). Berlangsungnya perang dunia II berdampak pada terhambatnya faktor sumber daya manusia dan keterampilan. Lantas, inilah titik dimulainya The Golden Age of Capitalism atau Zaman Keemasan Kapitalisme.
The Golden Age ditandai dengan masifnya gelontoran dana baik dari kaum kapitalis maupun dana pinjaman dari organisasi internasional. Lain lagi, bertebaran perjanjian internasional seperti terjunnya dana “tanggung jawab” Marshall Plan dan munculnya wilayah ekonomi Uni Eropa. Tanpa melebar lebih jauh, era The Golden Age menjadi cermin faktor investasi menjadi tulang punggung pemulihan, termasuk menurunnya sumber daya manusia akibat learning loss.
Pengekangan era great depression dan perang dunia II menimbulkan kemunculan pandangan optimisme tanpa batas. Tanpa mendiskreditkan salah satu founding father ilmu ekonomi era neoklasik, ide-ide keynesian seputar “pertumbuhan ekonomi masif” menjadi visi yang mengakar di benak pelaku industri dunia. Nahas, degradasi lingkungan menjadi tulang punggung masa pemulihan lainnya.
Dihadapkan dengan tantangan yang sama yaitu learning-loss, nyatanya kondisi saat ini sangat jauh berbeda dengan pasca Perang Dunia II. Sektor sumber daya manusia dan keterampilan terhantam, namun saat ini dunia tak dapat mengandalkan penuh faktor arus modal dan sumber daya alam. Mengapa?
Perjanjian Paris tahun 2015 adalah jawabannya. Secara singkat, 196 negara telah berkomitmen untuk mencapai target jangka panjang mengenai perbaikan lingkungan. Salah satunya, mencapai target zero emissions pada 2050. Tentu, ini merupakan tantangan yang berat terutama bagi sektor sumber daya manusia dan industri sebagai penyuplai utama zat karbon di dunia.
Arus modal juga lantas terhambat. Berbeda pada era Perang Dunia II, kali ini seluruh dunia yang mengalami resesi dan bayangan utang negara akibat berjuang melawan pandemi COVID-19. Hanya hingga akhir 2020, total utang dunia telah mencapai $281 triliun atau lebih dari 355% GDP dunia, tentu rasio yang sangat buruk bagi kesehatan perekonomian. Sokongan dana dari organisasi internasional untuk kepentingan investasi lantas diragukan hadir kembali. Sedangkan, investor juga masih dihantui dengan kondisi pandemi yang tak tentu masa berakhirnya.
Serupa tapi tak sama, learning-loss akibat pandemi COVID-19 memiliki dampak yang berlainan dibandingkan pasca Perang Dunia II. Nyatanya, kondisi saat ini nampak lebih rumit apabila ditelaah melalui sudut pandang ilmu ekonomi. Manusia dan keterampilan tumbang, modal dan sumber daya alam sangsi hadir sebagai pahlawan kesiangan selanjutnya. Lantas, dapatkah Indonesia dan Dunia lolos dari jebakan learning-loss 2.0 ini? Hanya waktu dan Tuhan yang dapat menjelaskan.
Referensi:
Engzell, Per., Frey, Arun., Verhagen, Mark. (2021). Learning Loss Due to School Closures during the COVID-19 Pandemic. PNAS. Diakses dari: https://doi.org/10.1073/pnas.2022376118
Ichini, Andrea. Winter-Ebmer, Rudolf. (2004). The Long-Run Educational Cost of World War II.
Diakses dari: https://uh.edu/~adkugler/Ichino%26Winter-Ebmer.pdf
Hanushek, Eric. Woessmann, Ludger. (2020). The Economic Impacts of Learning Losses. OECD. Diakses dari: https://www.oecd.org/education/The-economic-impacts-of-coronavirus-covid-19-learning-losses.pdf